Title : Last
Genre : School, Humor, Family
Author : Hittori Yudo
Chapter: 06
Bagian dari Bakat
Tidak Mengerti? Apa gadis itu paham
sseberapa sulitnya aku mengumpul ide untuk membuat naskah seperti Hirarki itu,
jika dia memang tidak bisa menghormati naskah yang dibuat. Sama saja dia
membuat harga diriku sebagai penulis rusak.
“Harga diri sebagai penulis kah!”
aku tertunduk lesu, seharusnya aku sudah kehilangan itu semua sejak dulu. Sejak
naskah yang kubuat tidak bisa masuk ke dalam jajaran best seller. Tujuan
utamaku untuk menulis buku best seller tapi jika seperti ini terus seluruh
naskah yang kutulis hanya akan masuk jajaran buku – buku bekas yang dijual
kembali setelah dibongkar dari gudang.
“Andi? Apa yang terjadi?” Kak Nia
melihatku dengan wajah khawatir sepertinya dia baru saja melepas sepatu dan
meletakan buku – bukunya dia atas lantai.
“Tidak ada yang terjadi!”
“Rika juga seperti ini!” padahal aku
ingin mengabaikan percakapan ini, tapi mendengar jawaban dari Kak Nia tubuhku
reflek berputar 180 derajat.
“Ooh!” ucapku kini berpura – pura
mengabaikan Kak Nia dan ingin segera melangkah pergi masuk ke dalam kamar.
“Bakat dan kerja keras itu sama kan!
Orang bilang kita berbakat tapi mereka tidak mengerti berapa banyak waktu yang
terbuang untuk kata omong kosong itu!” seolah membawa topik yang baru aku
melihat kak Nia lebih dekat dan dapat terlihat jelas buku – buku yang ada di
lantai penuh dengan coretan – coretan menghujat.
“Kak, ini kerjaan mereka lagi!”
entah kenapa suara sedikit meninggi saat menemukan buku – buku yang siang malam
ditulis oleh kak Nia penuh dengan coretan.
“Bukan, aku mencoret ini di depan
mereka!” suara kak Nia seperti orang berputus asa, aku berusaha menggapai buku
– buku itu dan membolak balik halamanya. Tidak ada yang bisa di baca lagi dan
aku yakin akan banyak waktu untuk membuat catatan baru.
“Jangan sampai kak Rifal melihat
ini, kak!” ucapku membereskan buku – buku kak Nia sedangkan dia hanya melihatku
dengan wajah terpaku.
“Hmm, kakak benar. Dia akan
menghancurkan sekolah lagi!” Kak Nia pun ikut membereskan buku –bukunya dan
segera membawanya masuk ke dalam kamar. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan
sampai kak Nia frustasi begitu.
“Hey- hey ada apa dengan wajah
mengerikan itu!” Kak Rifal menatapku dengan wajah tersenyum lebar, aku hanya
bisa balik menutup kak Nia yang sedang berjalan ke kamarnya.
“Hari ini tidak latihan?” ucapku
berbasa – basi dan sepertinya otak dangkal kak Rifal tidak begitu curiga dengan
ucapanku.
“Tidak, hari ini aku libur. Mereka
bilang kalau aku ikut latihan akan banyak yang terluka. Guahhaaaa, mereka pikir
aku mobil yang berkekutan besar!” itu bukan candaan, aku sama sekali tidak bisa
mengerti dimana letak lucu dari kata – kata kak Rifal tadi, kurasa para anggota
klub karate juga setuju denganku.
“Hari ini kok suasananya gak enak
ya!” orang bodoh yang peka dengan suasana, ini sangat menyebalkan untuk
membuatnya tidak curiga.
“Hah? Perasaan kakak saja. Aku
memang sedikit tidak enak badan dan ini tengah semester jadi kebanyakan tugas
numpuk ya mengertilah apa itu siswa!” Kak Rifal mengangguk lalu melepaskan
sepatunya, dia meletak di rak sepatu yang ada di dalam.
Kak Nia sudah memberi nama Rak
sepatu tiap orang, jadi kegiatan memasukan sepatu ke dalam rak terkesan
sistematis. Mengingat itu semua, aku jadi sadar kalau kak Nia tidak seharusnya
mendapat perlakukan buruk begitu.
Mereka yang tidak pernah belajar sambil mengkopres badannya di atas meja
belajar atau mereka yang tidak pernah belajar sambil mata mengantuk tidak
berhak membuat motivasi orang lain jatuh.
“Tatapan itu mengerikan loh!” ucap Kak Rifal menyadarkanku dari lamuan,
aku segera memberikan senyum palsu dan langsung pergi. Hari ini benar – benar
buruk, tidak semua hari sama saja. Hanya hari ini aku terlalu peka pada
lingkungan sekitar.
“Menarik diri dalam Bakat, kau pikir siapa dirimu!” jeda beberapa lama
dan aku tahu itu suara Rika.
“Aku juga manusia, jika dengan Bakat aku bisa berada di atas kami. Kami
tidak harus melakukannya!” suara itu kembali lagi terdengar.
“Yah, aku orang biasa. Jadi hirarki ini tidak berguna sama sekali!” aku
sadar itu adalah dialog dari drama Hirarki, jadi apa yang dilakukannya dengan
berganti peran sebagai orang biasa. Bukannya aku menyuruhnya menjadi heroin.
“Aku akui vokalmu bagus, bukannya kau salah dialog!” kini Rika menatapku
dengan wajah cemas, dia pasti terbawa suasana karena memerankan tokoh penting
dalam drama.
“Aku hanya ingin mencoba, tapi aku tidak bisa memerankan heroinnya!”
sekali lagi dia terlihat menolak, ada apa dengan kepala batunya. Tidak kah dia
lebih menurut sedikit dan aku akan sedikit senang.
“Apa masalahmu?”
“Kau tidak mengerti!”
“Sebenarnya apa yang tidak kumengerti, kau gadis yang sudah sering
berperan dalam serial drama dan mendapat penghargaan jadi apa yang salah dengan
semua itu!” dia menarik ke arah bajuku seolah membuat tubuhku bergerak beberapa
senti di hadapannya.
“Aku tidak akan bisa memerankan tokoh ini!”
“Apa yang salah dengan Elviana, dia gadis berbakat yang diasingkan!” kau
menyebut nama pemeran dalam dram itu dan Rika terlihat tidak menyukai apa yang
kukatakan.
“Karena ini tokoh yang menyedihkan, dia memerankan penghianatan,
kebencian dan sakit hati. Aku benci semua hal itu!” aku menghela nafas pelan
berusaha menahan emosiku yang secara tidak sengaja terasa memanas.
“Manusia dilahirkan dengan konspirasi, terjebak dengan penghianatan dan
tipu daya kemudian saling membenci! Semua itu ada dalam diri manusia, jadi
bagian mana yang kau dustakan!” Rika terdiam, dia tahu. Tidak, dia pasti
mengerti sosok yang dia tampilkan selama ini adalah hasil subjektif manusia
tentang kesempurnaan. Pada akhirnya manusia hanya bisa membenci apa yang mereka
tidak punya.
“Aku akan bermain, kau puas! Dan jangan pernah menyesal!” ucapan itu
mengakhiri pertengkaran singkat kami, dengan begitu aka nada pertujukan yang
mampu membuat kak Nia bisa lepas dari perasaan itu.
No comments:
Post a Comment