blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Monday, 21 September 2015

Last Bab 6 Bagian Dari Bakat



Title    : Last
Genre  : School, Humor, Family
Author : Hittori Yudo
Chapter: 06
Bagian dari Bakat
            Tidak Mengerti? Apa gadis itu paham sseberapa sulitnya aku mengumpul ide untuk membuat naskah seperti Hirarki itu, jika dia memang tidak bisa menghormati naskah yang dibuat. Sama saja dia membuat harga diriku sebagai penulis rusak.

            “Harga diri sebagai penulis kah!” aku tertunduk lesu, seharusnya aku sudah kehilangan itu semua sejak dulu. Sejak naskah yang kubuat tidak bisa masuk ke dalam jajaran best seller. Tujuan utamaku untuk menulis buku best seller tapi jika seperti ini terus seluruh naskah yang kutulis hanya akan masuk jajaran buku – buku bekas yang dijual kembali setelah dibongkar dari gudang.

            “Andi? Apa yang terjadi?” Kak Nia melihatku dengan wajah khawatir sepertinya dia baru saja melepas sepatu dan meletakan buku – bukunya dia atas lantai.

            “Tidak ada yang terjadi!”

            “Rika juga seperti ini!” padahal aku ingin mengabaikan percakapan ini, tapi mendengar jawaban dari Kak Nia tubuhku reflek berputar 180 derajat.

            “Ooh!” ucapku kini berpura – pura mengabaikan Kak Nia dan ingin segera melangkah pergi masuk ke dalam kamar.

            “Bakat dan kerja keras itu sama kan! Orang bilang kita berbakat tapi mereka tidak mengerti berapa banyak waktu yang terbuang untuk kata omong kosong itu!” seolah membawa topik yang baru aku melihat kak Nia lebih dekat dan dapat terlihat jelas buku – buku yang ada di lantai penuh dengan coretan – coretan menghujat.

            “Kak, ini kerjaan mereka lagi!” entah kenapa suara sedikit meninggi saat menemukan buku – buku yang siang malam ditulis oleh kak Nia penuh dengan coretan.

            “Bukan, aku mencoret ini di depan mereka!” suara kak Nia seperti orang berputus asa, aku berusaha menggapai buku – buku itu dan membolak balik halamanya. Tidak ada yang bisa di baca lagi dan aku yakin akan banyak waktu untuk membuat catatan baru.

            “Jangan sampai kak Rifal melihat ini, kak!” ucapku membereskan buku – buku kak Nia sedangkan dia hanya melihatku dengan wajah terpaku.

            “Hmm, kakak benar. Dia akan menghancurkan sekolah lagi!” Kak Nia pun ikut membereskan buku –bukunya dan segera membawanya masuk ke dalam kamar. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan sampai kak Nia frustasi begitu.

            “Hey- hey ada apa dengan wajah mengerikan itu!” Kak Rifal menatapku dengan wajah tersenyum lebar, aku hanya bisa balik menutup kak Nia yang sedang berjalan ke kamarnya.

            “Hari ini tidak latihan?” ucapku berbasa – basi dan sepertinya otak dangkal kak Rifal tidak begitu curiga dengan ucapanku.

            “Tidak, hari ini aku libur. Mereka bilang kalau aku ikut latihan akan banyak yang terluka. Guahhaaaa, mereka pikir aku mobil yang berkekutan besar!” itu bukan candaan, aku sama sekali tidak bisa mengerti dimana letak lucu dari kata – kata kak Rifal tadi, kurasa para anggota klub karate juga setuju denganku.

            “Hari ini kok suasananya gak enak ya!” orang bodoh yang peka dengan suasana, ini sangat menyebalkan untuk membuatnya tidak curiga.

            “Hah? Perasaan kakak saja. Aku memang sedikit tidak enak badan dan ini tengah semester jadi kebanyakan tugas numpuk ya mengertilah apa itu siswa!” Kak Rifal mengangguk lalu melepaskan sepatunya, dia meletak di rak sepatu yang ada di dalam.

            Kak Nia sudah memberi nama Rak sepatu tiap orang, jadi kegiatan memasukan sepatu ke dalam rak terkesan sistematis. Mengingat itu semua, aku jadi sadar kalau kak Nia tidak seharusnya mendapat perlakukan buruk begitu.
           
Mereka yang tidak pernah belajar sambil mengkopres badannya di atas meja belajar atau mereka yang tidak pernah belajar sambil mata mengantuk tidak berhak membuat motivasi orang lain jatuh.
           
“Tatapan itu mengerikan loh!” ucap Kak Rifal menyadarkanku dari lamuan, aku segera memberikan senyum palsu dan langsung pergi. Hari ini benar – benar buruk, tidak semua hari sama saja. Hanya hari ini aku terlalu peka pada lingkungan sekitar.
           
“Menarik diri dalam Bakat, kau pikir siapa dirimu!” jeda beberapa lama dan aku tahu itu suara Rika.
           
“Aku juga manusia, jika dengan Bakat aku bisa berada di atas kami. Kami tidak harus melakukannya!” suara itu kembali lagi terdengar.
           
“Yah, aku orang biasa. Jadi hirarki ini tidak berguna sama sekali!” aku sadar itu adalah dialog dari drama Hirarki, jadi apa yang dilakukannya dengan berganti peran sebagai orang biasa. Bukannya aku menyuruhnya menjadi heroin.
           
“Aku akui vokalmu bagus, bukannya kau salah dialog!” kini Rika menatapku dengan wajah cemas, dia pasti terbawa suasana karena memerankan tokoh penting dalam drama.
           
“Aku hanya ingin mencoba, tapi aku tidak bisa memerankan heroinnya!” sekali lagi dia terlihat menolak, ada apa dengan kepala batunya. Tidak kah dia lebih menurut sedikit dan aku akan sedikit senang.
           
“Apa masalahmu?”
           
“Kau tidak mengerti!”
           
“Sebenarnya apa yang tidak kumengerti, kau gadis yang sudah sering berperan dalam serial drama dan mendapat penghargaan jadi apa yang salah dengan semua itu!” dia menarik ke arah bajuku seolah membuat tubuhku bergerak beberapa senti di hadapannya.
           
“Aku tidak akan bisa memerankan tokoh ini!”
           
“Apa yang salah dengan Elviana, dia gadis berbakat yang diasingkan!” kau menyebut nama pemeran dalam dram itu dan Rika terlihat tidak menyukai apa yang kukatakan.
           
“Karena ini tokoh yang menyedihkan, dia memerankan penghianatan, kebencian dan sakit hati. Aku benci semua hal itu!” aku menghela nafas pelan berusaha menahan emosiku yang secara tidak sengaja terasa memanas.
           
“Manusia dilahirkan dengan konspirasi, terjebak dengan penghianatan dan tipu daya kemudian saling membenci! Semua itu ada dalam diri manusia, jadi bagian mana yang kau dustakan!” Rika terdiam, dia tahu. Tidak, dia pasti mengerti sosok yang dia tampilkan selama ini adalah hasil subjektif manusia tentang kesempurnaan. Pada akhirnya manusia hanya bisa membenci apa yang mereka tidak punya.
           
“Aku akan bermain, kau puas! Dan jangan pernah menyesal!” ucapan itu mengakhiri pertengkaran singkat kami, dengan begitu aka nada pertujukan yang mampu membuat kak Nia bisa lepas dari perasaan itu.

No comments:

Post a Comment