“Papah!!, Naila bilang datang saat
Pembagiaan Rapot semua orang nanyaain Papah. Mana papahmu ? papahmu sibuk Nail
? Mereka berkata seperti itu karena papah gak datang!” Naila merengut di depan Awan,
yang sedang asik mengetik sesuatu di notebooknya.
“Bukannya
ada Om Ardi, Naila. Dia yang ambil rapot kamukan. Lagipula Naila, papah lagi
sibuk ngurus ini.” Naila merengutkan dahinya, Awan tidak sedikitpun mengalihkan
perhatiannya dari notebook yang ada di depannya.
“Papah,
kenapa gak cari ibu lagi sih? Biar ada yang ngambil rapot Naila!” Awan
menyingkirkan notebooknya kemudian menatap Naila dalam – dalam. Naila hanya
menatap Papahnya dengan perasaan khawatir terakhir kali dia mengeluarkan ucapan
itu saat Papahnya selalu berada di luar dan jarang pulang tapi sekarang papahnya
selalu berkerja di rumah untuk membuatnya lupa dengan permintaan ibu barunya.
“Kamu
tahu Naila, ibumu adalah orang yang paling papah sayang. Jika kamu berkata
seperti itu, sama saja membuat hati papah terluka karena mencintai ibumu.”
Naila terdiam dia tidak merespon sedikitpun ucapan itu. Dia tahu, sekarang hati
papahnya sedang terluka karena ucapannya.
“Tapi
Naila tidak suka seperti ini?” Naila meninggikan suaranya. Awan hanya tersenyum
sebentar kemudian menarik pipi Naila dengan gemas.
“Naila
sayang, Papah sayang Naila. Jadi Papah tidak mau Naila benci dengan Papah.”
Naila yang seolah mengerti dengan perkataa Awan segera keluar ruang kerjanya dan berlari keluar rumah menuju tempat Ardi,
teman papahnya yang sudah dianggapnya sebagai ayah kedua.
“Om
Ardi, papah gak mau cari mama baru. Dia lebih suka sendiri saja!” Ardi yang
sibuk berkutat dengan tabung super besar
yang bisa memuat manusia di dalamnya. Tabung ini di susun dengan lapisan
titanium dan baja super tebal. Belum lagi layar LCD yang menempel di dekatnya
membuat tabung ini terkesan mirip sebuah mesin disel berukuran raksasa.
“Hmm, lalu
apa yang bisa kulakuan ?” Ardi mengeluarkan suara tanpa menoleh sedikitpun pada
anak temannya ini. Dia tidak terlalu peduli pada apa yang membawa anak temannya
ini ke sini. Yang ada di kepalanya sekarang bagaimana cara menyelesaikan apa
yang ada di depannya. Sudah cukup kesibukan tadi pagi yang dibuat anak ini
baginya.
“Om
bantu papah untuk nikah lagi dengan perempuan biar Naila gak kesepian!”
Ardi mengambil buku kemudian menuliskan
sesuatu di dalamnya dengan nafas lega dia berdehem sedikit.
“Naila,
Papahmu itu cinta mati dengan ibumu tidak mungkin aku mengatakan apa yang tidak
ingin didengarnya. Bisa – bisa biaya penelitianku bisa dicabut dengan mudah setelah
mendengar saranku!” ucap Ardi dengan wajah dibuat - buat takut.
“Paman
buat apa sih? Gak guna banget sih, sudah bentuk mirip penjara abad ke-18!” Ardi
menatap Naila dengan perasaan kecewa. Dia tidak mau mendengar perkataan itu
dari seorang anak SMA yang tidak tahu apa – apa.
“Time
machine, kamu tahu ?” Naila menatap terkejut apa yang ada di depannya. Dia
mendekati ini lebih dekat.
“Buahhh,
benda ini Time Machine yang benar saja. Bahkan CERN saja belum merampungkan
tentang dasarnya tapi paman sudah membuatnya. Ini lucu paman! Jangan bikin
lelucon yang konyol begini.” Ardi yang merasa dilecehkan dengan perkataan Naila
segera menghidupkan mesin ini.
“Kamu
mau coba, ini akan membawamu ke masa lalu yang kamu inginkan!” ucap Ardi dengan
wajah serius.
“Hmmm,
bagaimana kalau bawa Naila ke tahun 2012 paman ?” ucap Naila antusias. Ardi
menggaruk lehernya dengan wajah mengira – ngira. Dia yakin Naila ingin
melakukan sesuatu di sana.
“Jika
masa lalu berubah, maka masa depan juga berubah!” kata Ardi dengan nada suara
serius. Naila kembali berpikir sebentar kemudian mengangguk setuju.
“Tapi,
apa aku bisa kembali ke masa depan paman ?” Ardi tertunduk lesu, dengan sigap
Naila menarik kerah baju Ardi dengan cepat.
“Jangan
katakan, ini belum di uji coba ?!” Ardi segera mengangguk.
“PAMAN
GILA, paman pikir aku ini kelinci percobaan!” Sebelum kata itu keluar Naila sudah di dorong
ke dalam mesin.
Seberkas
Cahaya terlihat di depan mata Naila, Naila mulai ketakutan melihat cahaya itu
mendatanginya. Kemudian cahaya berwarna putih itu berubah menjadi hitam lebih
hitam dari malam. Kakinya bergertar kemudian tertunduduk karena ketakutan yang
menyerang. Matanya tertutup rapat dan giginya menggit bibir bawahnya. Kesadaranya
menghilang.
Seakan
ada cahaya yang meneranginya lagi, Naila kembali membuka matanya. Wajahnya
penuh kebingungan melihat satu tempat yang tidak di kenalnya. Tempat ini penuh
dengan boneka kodok dengan tembok yang berwarna hijau. Dibalik kamarnya
tergantung rajutan boneka yang bertuliskan I love you. Yang segera membuatnya
ingat dengan kamar milik ayahnya.
“Kamu
sudah bangun?” perempuan dengan poni yang yang hampir menutupi semua keningnya
membuat Naila terkejut. Senyum sedikit memberikan rasa kedamain, membuat Naila
teringat sosok ibunya. Dia tahu perempuan yang ada di hadapanya ini sangat
mirip dengan ibunya.
“Anda
siapa?” perempuan ini tersenyum sekali lagi. Senyum itu seakan dapat menghapus
kekhawatiran Naila akan orang ini. Dia membawa segelas air putih dan segera
membantu Naila duduk.
“Kamu
tadi pingsan di depan rumahku. Jadi aku bawa ke kamar aja, sekarang minum dulu!”
ucap perempuan ini lembut. Naila memngambil gelas kaca ini dengan tatapan ragu,
semakin di perhatikan perempuan yang ada di hadapannya ini sangat mirip dengan
ibunya.
“Maaf
sebelumnya telah merepotkan, kalau boleh tahu? Nama anda siapa?”
“Dwi,
kalau namamu?” Naila terkejut mendengar nama perempuan ini, dia tahu ibunya
memang bernama Dwi tapi jika penemuan pamannya itu benar. Sekarang dia sudah
terlempar kemasa lalu.
“Aku
tidak ingat namaku?” Ucap Naila tiba – tiba memegangi kepalanya. Dwi tampak
panik dia segera mengambil handphonenya yang ada di dalam saku dan segera
memencet nomor rumah sakit terdekat.
“Kamu
mau apa?” ucap Naila kebingungan melihat Dwi yang tampak gelisah dengan
handphonenya.
“Menelepon
rumah sakit? Kamu ini sakit!” Dwi berkata dengan panik.
“Aku cuma
bercanda, namaku Naila!” ucap Naila gugup, dia tahu bila kerumah sakit akan
menjadi lebih buruk, rumah sakit pasti akan menanyakan hal – hal yang tidak
diperlukan yang bisa membuat dirinya ketahuan.
“Kamu
ini, aku takut kamu benar – benar sakit!” wajah Dwi yang tampak panic membuat
Naila tidak sengaja meneteskan air matanya. Naila merasa telah beruntung dipertemukan
dengan orang yang mirip ibunya ini.
“Hey,
kenapa kamu menangis, aku tidak memarahimu kok!” Dwi sekali lagi terlihat panik,
meskipun umur mereka terpaut tidak jauh, tapi Dwi merasa Naila ini lebih
seperti anak – anak yang terlihat sangat sensitif.
“Maaf,
mah Naila minta maaf.” ucap Naila membuat Dwi segera memeluk perempuan ini, dan
mengusap kepalanya untuk menenangkan gadis ini.
“Iya
aku maafin, tapi jangan panggil aku mama dong, kaya tua banget!” ucap Dwi
dengan nada bercanda dan Naila hanya terkekeh menyadari ucapnya.
“Kurasa
kamu tua banget, jadi mirip mamaku!” ucap Naila dengan nada menyindir membuat
Dwi sedikit terkekeh.
“Aku
setuju dengan kata – katanya!” ucap seseorang dari belakang Naila membuatnya
terloncat.
“Awan
bodoh!” Naila menatap orang yang ada di belakangnya memperhatikan dengan
seksama, memang ada sedikit kemiripan antara orang ini dan ayahnya. Tapi
pancaran kebahagian yang tampak seakan menipis Ayah yang ada dalam pikirannya.
“Papah?”
ucap Naila membuat Awan mendelik menatap perempuan yang ada di depannya dengan
wajah kesal.
“Kapan
aku nikah dengan ibumu?” ucap Awan membuat Naila gelagapan, dia tidak ingin
jati dirinya diketahui membuantya segera tersenyum ringan.
“Kamu
terlihat lebih tua dari Dwi jadi kupanggil saja Papah, gak papa kan!” Awan
segera memukul kepala Naila dengan keras membuat Naila menjerit.
“Kamu
kenapa jahat banget tahu, papahku aja gak pernah mukul aku!” ucap Naila protes
dan Awan malah tersenyum sinis.
“Yah,
karena kamu anak manja dan gak bisa jaga mulut. Ayahmu itu orang yang bodoh
tidak pernah mendidikmu dengan benar!” Naila tertawa mendengar ucapan Awan dia
merasa Awan yang sekarang sedang mengejek Awan di masa depan.
“Ini
lucu, kalau kamu memajakan anakmu ada yang salah ?” ucap Naila membuat Awan
menatapnya tajam.
“Salah!
Dia akan tumbuh dengan penopangku dan tidak bisa mandiri atau melakukan apapun
tanpa bantuanku. Mungkin dia akan mengomel jika aku tidak mengambil rapot
untuknya!” Naila terdiam, seakan pukulan telak menghantamnya membuat air
matanya kembali jatuh.
“Awan
bodoh! Kau membuat Naila menangis. Naila tenang ya! Aku akan menghajar Awan
untukmu” ucap Dwi segera mencubit Awan membuat laki – laki ini berteriak keras
karena kesakitan.
“Dwi
sakit, ngapain kamu bela dia? Simpati sesama wanita?” protes Awan membuat Dwi
mencubitnya sekali lagi.
“Memang
ada salah dengan itu, memang ada yang salah jika anakmu tumbuh dengan
penopangmu. Memangnya kenapa kalau aku hidup terus bergantung pada Ayahku!”
ucap Naila tiba –tiba membuat dua orang ini terdiam dan saling berpandangan.
“Awan
cepat minta maaf, gurauan ini tidak lucu lho!” ucap Dwi kini mendorong Awan
mendekati Naila, membuat Gadis ini terkejut karena wajah Awan terlalu dekat
dengannya.
“Apa
yang kau lakukan, Papah mesum!” ucap Naila kini menendang Awan jauh – jauh
membuat terpental beberapa meter.
“Kamu
ini, gadis kurang ajar!” ucap Awan mengusap wajahnya yang terasa sakit karena
tendangan Naila barusan.
“Aku
gak kurang ajar, kau itu yang kurang ajar. Gak datang ke pembagian rapot
anaknya karena sibuk, alasan macam apa itu. Coba kamu menikah saja dengan
begitu gak perlu kesusahan-”
“PLAAAAKK”
bunyi tamparan membuat Naila terdiam, pipi kanannya memerah seketika membuatnya
segera meringis.
“Apa
kamu ingin mengatakan kamu ingin orang tuamu menikah lagi untukmu? Kenapa kau tidak mengerti perasaannya? Apa
kamu tahu rasanya, katakan padaku?!” suara Dwi yang terdengar paru membuat Awan
segera memeluknya dari belakang.
“Tenangkan
dirimu ya…” ucap Awan lembut lalu mengusap kepala Dwi, beberapa tetes air mata
jatuh saat Naila melihat ini membuatnya ingin mengutuk dirinya sendiri karena
perbuatannya.
“Aku
minta maaf…” ucap Naila dengan suara parau membuat kedua orang ini tersenyum
simpul. Dan tiba –tiba kegelapan datang menyelimuti Naila seiring dengan itu
suara Ardi terdengar jelas di telinga Naila.
“Om?
Aku dimana?” ucap Naila memijit pelipisnya.
“Kamu
di rumahku, maaf sepertinya efek mesinnya terlalu lama!” ucap Ardi membuat
Naila terdiam.
“Itu
tadi menyenangkan, aku akan ketemu papah!” ucap Naila kini segera berlari
keluar rumah Ardi.
“Aku
akan menjaga perasaan itu mah, aku janji tidak akan egois lagi!” ucap Naila
bergumam sendiri dan masuk ke dalam rumahnya.
keren sob ceritanya
ReplyDeletekunjungan balik ya
ok2 sob
ReplyDelete