blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Sunday 15 February 2015

Mesin Waktu

               Gadis dengan celana jeans dan kaos oblong masuk ke dalam ruang kerja seseorang, wajahnya yang tirus dan matanya yang sipit terlihat menawan. Entah kenapa sorot matanya kini menatap kesal pada orang yang ada di depannya.

               “Papah!!, Naila bilang datang saat Pembagiaan Rapot semua orang nanyaain Papah. Mana papahmu ? papahmu sibuk Nail ? Mereka berkata seperti itu karena papah gak datang!” Naila merengut di depan Awan, yang sedang asik mengetik sesuatu di notebooknya.

                “Bukannya ada Om Ardi, Naila. Dia yang ambil rapot kamukan. Lagipula Naila, papah lagi sibuk ngurus ini.” Naila merengutkan dahinya, Awan tidak sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari notebook yang ada di depannya.

                “Papah, kenapa gak cari ibu lagi sih? Biar ada yang ngambil rapot Naila!” Awan menyingkirkan notebooknya kemudian menatap Naila dalam – dalam. Naila hanya menatap Papahnya dengan perasaan khawatir terakhir kali dia mengeluarkan ucapan itu saat Papahnya selalu berada di luar dan jarang pulang tapi sekarang papahnya selalu berkerja di rumah untuk membuatnya lupa dengan permintaan ibu barunya.

                “Kamu tahu Naila, ibumu adalah orang yang paling papah sayang. Jika kamu berkata seperti itu, sama saja membuat hati papah terluka karena mencintai ibumu.” Naila terdiam dia tidak merespon sedikitpun ucapan itu. Dia tahu, sekarang hati papahnya sedang terluka karena ucapannya.

                “Tapi Naila tidak suka seperti ini?” Naila meninggikan suaranya. Awan hanya tersenyum sebentar kemudian menarik pipi Naila dengan gemas.

                “Naila sayang, Papah sayang Naila. Jadi Papah tidak mau Naila benci dengan Papah.” Naila yang seolah mengerti dengan perkataa Awan segera keluar ruang kerjanya  dan berlari keluar rumah menuju tempat Ardi, teman papahnya yang sudah dianggapnya sebagai ayah kedua.

                “Om Ardi, papah gak mau cari mama baru. Dia lebih suka sendiri saja!” Ardi yang sibuk berkutat dengan  tabung super besar yang bisa memuat manusia di dalamnya. Tabung ini di susun dengan lapisan titanium dan baja super tebal. Belum lagi layar LCD yang menempel di dekatnya membuat tabung ini terkesan mirip sebuah mesin disel berukuran raksasa.

                “Hmm, lalu apa yang bisa kulakuan ?” Ardi mengeluarkan suara tanpa menoleh sedikitpun pada anak temannya ini. Dia tidak terlalu peduli pada apa yang membawa anak temannya ini ke sini. Yang ada di kepalanya sekarang bagaimana cara menyelesaikan apa yang ada di depannya. Sudah cukup kesibukan tadi pagi yang dibuat anak ini baginya.

                “Om bantu papah untuk nikah lagi dengan perempuan biar Naila gak kesepian!” Ardi  mengambil buku kemudian menuliskan sesuatu di dalamnya dengan nafas lega dia berdehem sedikit.

                “Naila, Papahmu itu cinta mati dengan ibumu tidak mungkin aku mengatakan apa yang tidak ingin didengarnya. Bisa – bisa biaya penelitianku bisa dicabut dengan mudah setelah mendengar saranku!” ucap Ardi dengan wajah dibuat - buat takut.

                “Paman buat apa sih? Gak guna banget sih, sudah bentuk mirip penjara abad ke-18!” Ardi menatap Naila dengan perasaan kecewa. Dia tidak mau mendengar perkataan itu dari seorang anak SMA yang tidak tahu apa – apa.

                “Time machine, kamu tahu ?” Naila menatap terkejut apa yang ada di depannya. Dia mendekati ini lebih dekat.

                “Buahhh, benda ini Time Machine yang benar saja. Bahkan CERN saja belum merampungkan tentang dasarnya tapi paman sudah membuatnya. Ini lucu paman! Jangan bikin lelucon yang konyol begini.” Ardi yang merasa dilecehkan dengan perkataan Naila segera menghidupkan mesin ini.

                “Kamu mau coba, ini akan membawamu ke masa lalu yang kamu inginkan!” ucap Ardi dengan wajah serius.

                “Hmmm, bagaimana kalau bawa Naila ke tahun 2012 paman ?” ucap Naila antusias. Ardi menggaruk lehernya dengan wajah mengira – ngira. Dia yakin Naila ingin melakukan sesuatu di sana.

                “Jika masa lalu berubah, maka masa depan juga berubah!” kata Ardi dengan nada suara serius. Naila kembali berpikir sebentar kemudian mengangguk setuju.

                “Tapi, apa aku bisa kembali ke masa depan paman ?” Ardi tertunduk lesu, dengan sigap Naila menarik kerah baju Ardi dengan cepat.

                “Jangan katakan, ini belum di uji coba ?!” Ardi segera mengangguk.

                “PAMAN GILA, paman pikir aku ini kelinci percobaan!”  Sebelum kata itu keluar Naila sudah di dorong ke dalam mesin.

                Seberkas Cahaya terlihat di depan mata Naila, Naila mulai ketakutan melihat cahaya itu mendatanginya. Kemudian cahaya berwarna putih itu berubah menjadi hitam lebih hitam dari malam. Kakinya bergertar kemudian tertunduduk karena ketakutan yang menyerang. Matanya tertutup rapat dan giginya menggit bibir bawahnya. Kesadaranya menghilang.

                Seakan ada cahaya yang meneranginya lagi, Naila kembali membuka matanya. Wajahnya penuh kebingungan melihat satu tempat yang tidak di kenalnya. Tempat ini penuh dengan boneka kodok dengan tembok yang berwarna hijau. Dibalik kamarnya tergantung rajutan boneka yang bertuliskan I love you. Yang segera membuatnya ingat dengan kamar milik ayahnya.

                “Kamu sudah bangun?” perempuan dengan poni yang yang hampir menutupi semua keningnya membuat Naila terkejut. Senyum sedikit memberikan rasa kedamain, membuat Naila teringat sosok ibunya. Dia tahu perempuan yang ada di hadapanya ini sangat mirip dengan ibunya.

                “Anda siapa?” perempuan ini tersenyum sekali lagi. Senyum itu seakan dapat menghapus kekhawatiran Naila akan orang ini. Dia membawa segelas air putih dan segera membantu Naila duduk.

                “Kamu tadi pingsan di depan rumahku. Jadi aku bawa ke kamar aja, sekarang minum dulu!” ucap perempuan ini lembut. Naila memngambil gelas kaca ini dengan tatapan ragu, semakin di perhatikan perempuan yang ada di hadapannya ini sangat mirip dengan ibunya.

                “Maaf sebelumnya telah merepotkan, kalau boleh tahu? Nama anda siapa?”

                “Dwi, kalau namamu?” Naila terkejut mendengar nama perempuan ini, dia tahu ibunya memang bernama Dwi tapi jika penemuan pamannya itu benar. Sekarang dia sudah terlempar kemasa lalu.

                “Aku tidak ingat namaku?” Ucap Naila tiba – tiba memegangi kepalanya. Dwi tampak panik dia segera mengambil handphonenya yang ada di dalam saku dan segera memencet nomor rumah sakit terdekat.

                “Kamu mau apa?” ucap Naila kebingungan melihat Dwi yang tampak gelisah dengan handphonenya.

                “Menelepon rumah sakit? Kamu ini sakit!” Dwi berkata dengan panik.

                “Aku cuma bercanda, namaku Naila!” ucap Naila gugup, dia tahu bila kerumah sakit akan menjadi lebih buruk, rumah sakit pasti akan menanyakan hal – hal yang tidak diperlukan yang bisa membuat dirinya ketahuan.

                “Kamu ini, aku takut kamu benar – benar sakit!” wajah Dwi yang tampak panic membuat Naila tidak sengaja meneteskan air matanya. Naila merasa telah beruntung dipertemukan dengan orang yang mirip ibunya ini.

                “Hey, kenapa kamu menangis, aku tidak memarahimu kok!” Dwi sekali lagi terlihat panik, meskipun umur mereka terpaut tidak jauh, tapi Dwi merasa Naila ini lebih seperti anak – anak yang terlihat sangat sensitif.

                “Maaf, mah Naila minta maaf.” ucap Naila membuat Dwi segera memeluk perempuan ini, dan mengusap kepalanya untuk menenangkan gadis ini.

                “Iya aku maafin, tapi jangan panggil aku mama dong, kaya tua banget!” ucap Dwi dengan nada bercanda dan Naila hanya terkekeh menyadari ucapnya.

                “Kurasa kamu tua banget, jadi mirip mamaku!” ucap Naila dengan nada menyindir membuat Dwi sedikit terkekeh.

                “Aku setuju dengan kata – katanya!” ucap seseorang dari belakang Naila membuatnya terloncat.

                “Awan bodoh!” Naila menatap orang yang ada di belakangnya memperhatikan dengan seksama, memang ada sedikit kemiripan antara orang ini dan ayahnya. Tapi pancaran kebahagian yang tampak seakan menipis Ayah yang ada dalam pikirannya.

                “Papah?” ucap Naila membuat Awan mendelik menatap perempuan yang ada di depannya dengan wajah kesal.

                “Kapan aku nikah dengan ibumu?” ucap Awan membuat Naila gelagapan, dia tidak ingin jati dirinya diketahui membuantya segera tersenyum ringan.

                “Kamu terlihat lebih tua dari Dwi jadi kupanggil saja Papah, gak papa kan!” Awan segera memukul kepala Naila dengan keras membuat Naila menjerit.

                “Kamu kenapa jahat banget tahu, papahku aja gak pernah mukul aku!” ucap Naila protes dan Awan malah tersenyum sinis.

                “Yah, karena kamu anak manja dan gak bisa jaga mulut. Ayahmu itu orang yang bodoh tidak pernah mendidikmu dengan benar!” Naila tertawa mendengar ucapan Awan dia merasa Awan yang sekarang sedang mengejek Awan di masa depan.

                “Ini lucu, kalau kamu memajakan anakmu ada yang salah ?” ucap Naila membuat Awan menatapnya tajam.

                “Salah! Dia akan tumbuh dengan penopangku dan tidak bisa mandiri atau melakukan apapun tanpa bantuanku. Mungkin dia akan mengomel jika aku tidak mengambil rapot untuknya!” Naila terdiam, seakan pukulan telak menghantamnya membuat air matanya kembali jatuh.

                “Awan bodoh! Kau membuat Naila menangis. Naila tenang ya! Aku akan menghajar Awan untukmu” ucap Dwi segera mencubit Awan membuat laki – laki ini berteriak keras karena kesakitan.

                “Dwi sakit, ngapain kamu bela dia? Simpati sesama wanita?” protes Awan membuat Dwi mencubitnya sekali lagi.

                “Memang ada salah dengan itu, memang ada yang salah jika anakmu tumbuh dengan penopangmu. Memangnya kenapa kalau aku hidup terus bergantung pada Ayahku!” ucap Naila tiba –tiba membuat dua orang ini terdiam dan saling berpandangan.

                “Awan cepat minta maaf, gurauan ini tidak lucu lho!” ucap Dwi kini mendorong Awan mendekati Naila, membuat Gadis ini terkejut karena wajah Awan terlalu dekat dengannya.

                “Apa yang kau lakukan, Papah mesum!” ucap Naila kini menendang Awan jauh – jauh membuat terpental beberapa meter.

                “Kamu ini, gadis kurang ajar!” ucap Awan mengusap wajahnya yang terasa sakit karena tendangan Naila barusan.

                “Aku gak kurang ajar, kau itu yang kurang ajar. Gak datang ke pembagian rapot anaknya karena sibuk, alasan macam apa itu. Coba kamu menikah saja dengan begitu gak perlu kesusahan-”

                “PLAAAAKK” bunyi tamparan membuat Naila terdiam, pipi kanannya memerah seketika membuatnya segera meringis.

                “Apa kamu ingin mengatakan kamu ingin orang tuamu menikah lagi untukmu?  Kenapa kau tidak mengerti perasaannya? Apa kamu tahu rasanya, katakan padaku?!” suara Dwi yang terdengar paru membuat Awan segera memeluknya dari belakang.

                “Tenangkan dirimu ya…” ucap Awan lembut lalu mengusap kepala Dwi, beberapa tetes air mata jatuh saat Naila melihat ini membuatnya ingin mengutuk dirinya sendiri karena perbuatannya.

                “Aku minta maaf…” ucap Naila dengan suara parau membuat kedua orang ini tersenyum simpul. Dan tiba –tiba kegelapan datang menyelimuti Naila seiring dengan itu suara Ardi terdengar jelas di telinga Naila.

                “Om? Aku dimana?” ucap Naila memijit pelipisnya.

                “Kamu di rumahku, maaf sepertinya efek mesinnya terlalu lama!” ucap Ardi membuat Naila terdiam.

                “Itu tadi menyenangkan, aku akan ketemu papah!” ucap Naila kini segera berlari keluar rumah Ardi.

                “Aku akan menjaga perasaan itu mah, aku janji tidak akan egois lagi!” ucap Naila bergumam sendiri dan masuk ke dalam rumahnya.

2 comments: