blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Thursday 18 July 2013

GURU YANG ANEH


Terik matahari menyinari kulitku dengan panas, aku meringis ‘panas’ sambil mempercepat langkahku, aku berhenti di sebuah taman di pinggir kota, letaknya tidak jauh dari sekolahku membuatku tidak begitu susah untuk mencapai tempat ini. Sudah jadi kebiasaanku untuk merenung di siang hari, atau sekedar duduk saja. Terkadang aku juga membawa buku bacaan untuk melengkapi hari santaiku setelah pulang sekolah.

            Kakiku berhenti di salah satu taman, aku menatap bingung. Kursi yang sering ku duduki untuk bersantai. Di duduki perempuan mungkin pekerja kantoran. Karena pakaain yang di kenakanya hampir sama dengan pakaian kantoran yang sering aku lihat.

            Di tersenyum menatapku, kemudian menggeser duduknya semakin kepinggir, seolah mempersilahkan aku duduk, aku hanya kebingungan dengan sikap perempuan paru baya ini. Kemudian duduk sambil sedikit tersenyum, bisa kurasakan wajahku seakan kaku saat memberikan senyuman itu. Ia terkekeh kecil, kemudian mengambil majalah yang di bawannya lalu membacanya.

            Aku yang tidak ambil pusing, mengambil buku bacaanku dari dalam tas, “Epilog” sedikit judul yang aneh tapi cerita yang menyentuh membuatku ingin mengulang lagi untuk membacanya. Perempuan paru baya ini melirik buku yang kubawa, lalu tersenyum simpul dan kembali membaca majalah yang di bawanya, aku merasa pernah melihat perempuan ini mungkin guru magang tapi ya sudahlah.

            “Kamu gak pulang, jarang loh anak SMA ada di taman” Perempuan paru baya ini, berkata dengan nada pelan. Dan intonasi yang cukup lambat, dia seolah berkata seperti para guru yang menerangkan pelajaran dengan ritme yang pelan, mungkin dia bekerja di bidang perhubungan yang mengharuskan ritme ucapnya memiliki jeda cukup lama.

            “Gak baik, bicara seperti itu pada orang yang baru anda temui. Pertama – tama perkenalakan dulu nama anda” aku berkata datar, tanpa menatap lawan bicaraku. Rajutan kata – kata yang ada di dalam buku yang kubawa seakan tidak memperbolehkan mataku untuk lari walau hanya sekejap, mungki sekarang dia sedang kesal.

            Suasana kembali hening, tak ada kata yang keluar dari mulutnya lagi setelah aku berkata dengan kasar. Mungkin dia sudah tidak memiliki niat lagi untuk berbicara denganku. Namun karena terlalu lama tidak ada suara, aku menghentikan kegiatanku setelah sampai pada lembar pembatas antara satu halam ke halam lainnya.

            Aku melirik kesamping, perempuan paru baya ini menangis, air matanya menetes, sedikit rasa terkejut dalam hatiku. Karena rasa penasaran, aku memberanikan diri untuk bertanya.

            “Kenapa anda menangis?” aku berkata sopan, dia kemudian terseyum kecil, matanya berbinar menatapku dengan rasa percaya diri yang tinggi.

            “Gak baik,bicara seperti itu pada orang yang kamu temui. Pertama – tama perkenalakan dulu namamu” Dia berkata dengan nada riang sambil tersenyum di akhir katanya. Wajahnya berseri seakan rasa puas datang menghampirinya.

            Aku tertawa kecil kemudian melanjutkan membaca bukuku, perempuan paru baya ini cemberut wajahnya kembali tekuk setelah aku melanjutkan membaca buku, ada sedikit pancaran kekecewaan dari matanya saat menatapku yang sudah hanyut dalam buku yang kubaca.

            “Nama?” Dia menarik buku dari tanganku dan  menatapku dengan tatapan kesal. Aku hanya menunjukan name tagku dengan jari telujuk, dia menatapnya “Ari Fahrulazi” gumamnya kecil kemudian mengembalikan bukuku.

            “Mari kita mengobrol” ucapnya menyimpan majalahnya.

            “Kita tidak saling kenal” ucapku datar, kembali membaca buku.

            “Aku gurumu, bu Yeni yang baru pindah kemarin” dia berkata dengan ritme untuk membuat terkejut, aku hanya bergumam “Oh” di meringis kesal.

            “Murid harus sopan pada gurunya” dia berkata lagi dengan ritme semakin cepat, mungkin kekesal memuncak karena sikapku.

            “Tapi tidak untuk guru magang” aku berkata datar kemudian menutup buku dan memasukan dalam tas.

            “Selamat siang bu” aku berkata dengan nada tidak ambil pusing, kemudian meneruskan langkahku.

            “Guru yang aneh” gumamku pelan setelah langkahku sudah jauh.

No comments:

Post a Comment