Terik matahari
menyinari kulitku dengan panas, aku meringis ‘panas’ sambil mempercepat langkahku,
aku berhenti di sebuah taman di pinggir kota, letaknya tidak jauh dari
sekolahku membuatku tidak begitu susah untuk mencapai tempat ini. Sudah jadi
kebiasaanku untuk merenung di siang hari, atau sekedar duduk saja. Terkadang
aku juga membawa buku bacaan untuk melengkapi hari santaiku setelah pulang
sekolah.
Kakiku
berhenti di salah satu taman, aku menatap bingung. Kursi yang sering ku duduki
untuk bersantai. Di duduki perempuan mungkin pekerja kantoran. Karena pakaain
yang di kenakanya hampir sama dengan pakaian kantoran yang sering aku lihat.
Di
tersenyum menatapku, kemudian menggeser duduknya semakin kepinggir, seolah
mempersilahkan aku duduk, aku hanya kebingungan dengan sikap perempuan paru
baya ini. Kemudian duduk sambil sedikit tersenyum, bisa kurasakan wajahku
seakan kaku saat memberikan senyuman itu. Ia terkekeh kecil, kemudian mengambil
majalah yang di bawannya lalu membacanya.
Aku
yang tidak ambil pusing, mengambil buku bacaanku dari dalam tas, “Epilog”
sedikit judul yang aneh tapi cerita yang menyentuh membuatku ingin mengulang
lagi untuk membacanya. Perempuan paru baya ini melirik buku yang kubawa, lalu
tersenyum simpul dan kembali membaca majalah yang di bawanya, aku merasa pernah
melihat perempuan ini mungkin guru magang tapi ya sudahlah.
“Kamu
gak pulang, jarang loh anak SMA ada di taman” Perempuan paru baya ini, berkata
dengan nada pelan. Dan intonasi yang cukup lambat, dia seolah berkata seperti
para guru yang menerangkan pelajaran dengan ritme yang pelan, mungkin dia
bekerja di bidang perhubungan yang mengharuskan ritme ucapnya memiliki jeda
cukup lama.
“Gak
baik, bicara seperti itu pada orang yang baru anda temui. Pertama – tama perkenalakan
dulu nama anda” aku berkata datar, tanpa menatap lawan bicaraku. Rajutan kata –
kata yang ada di dalam buku yang kubawa seakan tidak memperbolehkan mataku
untuk lari walau hanya sekejap, mungki sekarang dia sedang kesal.
Suasana
kembali hening, tak ada kata yang keluar dari mulutnya lagi setelah aku berkata
dengan kasar. Mungkin dia sudah tidak memiliki niat lagi untuk berbicara
denganku. Namun karena terlalu lama tidak ada suara, aku menghentikan kegiatanku
setelah sampai pada lembar pembatas antara satu halam ke halam lainnya.
Aku
melirik kesamping, perempuan paru baya ini menangis, air matanya menetes,
sedikit rasa terkejut dalam hatiku. Karena rasa penasaran, aku memberanikan
diri untuk bertanya.
“Kenapa
anda menangis?” aku berkata sopan, dia kemudian terseyum kecil, matanya berbinar
menatapku dengan rasa percaya diri yang tinggi.
“Gak
baik,bicara seperti itu pada orang yang kamu temui. Pertama – tama perkenalakan
dulu namamu” Dia berkata dengan nada riang sambil tersenyum di akhir katanya.
Wajahnya berseri seakan rasa puas datang menghampirinya.
Aku
tertawa kecil kemudian melanjutkan membaca bukuku, perempuan paru baya ini
cemberut wajahnya kembali tekuk setelah aku melanjutkan membaca buku, ada
sedikit pancaran kekecewaan dari matanya saat menatapku yang sudah hanyut dalam
buku yang kubaca.
“Nama?”
Dia menarik buku dari tanganku dan menatapku dengan tatapan kesal. Aku hanya
menunjukan name tagku dengan jari
telujuk, dia menatapnya “Ari Fahrulazi” gumamnya kecil kemudian mengembalikan
bukuku.
“Mari
kita mengobrol” ucapnya menyimpan majalahnya.
“Kita
tidak saling kenal” ucapku datar, kembali membaca buku.
“Aku
gurumu, bu Yeni yang baru pindah kemarin” dia berkata dengan ritme untuk
membuat terkejut, aku hanya bergumam “Oh” di meringis kesal.
“Murid
harus sopan pada gurunya” dia berkata lagi dengan ritme semakin cepat, mungkin kekesal
memuncak karena sikapku.
“Tapi
tidak untuk guru magang” aku berkata datar kemudian menutup buku dan memasukan
dalam tas.
“Selamat
siang bu” aku berkata dengan nada tidak ambil pusing, kemudian meneruskan
langkahku.
“Guru
yang aneh” gumamku pelan setelah langkahku sudah jauh.
No comments:
Post a Comment