“Hey…
Apa yang kamu liat Ai” dia tidak bermaksud memanggil pacaranya ini dengan
sebutan “Ai” tapi sejak mereka pacaran sebutan ini seperti panggilan sayangnya
pada perempuan yang teramat tercinta.
“Tahu
Ah… bete” Rovan tersenyum melihat pesan itu. Dia kembali berdiri kemudian
memasukan hpnya kedalam kantong. Seperti biasanya Gea akan mengabaikanya selama
seharian penuh setelah memberikan pesan seperti tadi.
“Perempuan
butuh waktu untuk berpikir. Jadi kemana aku sekarang ?” Rovan kembali menaikan
pandangnya melihat beberapa bangunan kuno dengan pondasi utama kayu. Lalu di
sisi kiri terdapat sungai besar yang mengalir sepanjang kuil.
Bagai
latar foto dalam majalah kuil ini terlihat memukau dari sudut padang Rovan. Dia
kembali mengambil Tabletnya kemudian menuliskan beberapa kata yang dinilai
cukup menggambarkan perasaanya kemudian
memasukannya lagi ke dalam tas ranselnya.
“Tidak
mudah membuat perempuan percaya” ucapnya kemudian lalu tersenyum meringis. Dia
yakin Gea sekarang sedang melipat tangan di atas karpet kulit bulu kesukanya
dengan bibir bawah maju beberapa senti. Sambil melihat Hp yang baru saja
dimatikan diatas meja kaki empat dengan perasaan campur aduk.
“Kapan
dia percaya padahal sudah 2 tahun kami pacaran” Dia berucap lagi. Sudah menjadi
kebiasaanya berbicara sendiri jauh membuatnya lega dibanding mengatakannya
masalahnya pada seorang kenalan atau sahabatnya.
“Kamu
harus sabar tidak semua orang biasa percaya pada orang lain dengan mudah
terkadang butuh waktu lama untuk membuat orang itu percaya” ucap seorang
menepuk pundak Rivan dengan gaya keibuan.
“Maaf,
aku kira disini tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia” Rivan tersenyum malu
melihat perempuan dengan balutan yukata merah muda dengan motif bunga sakura.
Yukata ini dibalutkan dengan kain yang cukup panjang kemudian di bentuk Seperti
dasi kupu – kupu pada bagian belakang. Biasanya pakain ini dipakai pada sat
festival atau acara sejenisnya.
“Tidak
apa –apa. Saya mahasiswa tingkat 2 di Universitas Osaka. Kebetulan ibuku orang
Indonesia” Rivan hanya mengangguk. Dia tidak tahu harus berbicara apa? Akan
terdengar konyol setelah perkenalan ini dia membahasa tentang festival. Tapi
kepalanya kembali bingung satu – satu perempuan yang ada di dekatnya hanya Gea
hampir tidak ada perempuan yang mendekatinya atau lebih tepatnya perempuan lain
tidak mau mendekatinya karena ada Gea di sampingnya.
Sulit
menjelaskan kenapa dia bisa jatuh cinta dengan Gea. Wanita yang selalu
tersenyum pasti akan cepat juga marah. Itu seperti hukum kekelan massa yang ada
pada kimia. Reaksi yang ditimbulkan massanya akan sama dengan reaksi yang
dihasilkan. Seperti itu juga Gea dimata Rivan
Awal
Rivan mengenal Gea saat pertama kali dia menginjak kelas dua SMA. Kebetulan sat
itu terjadi perombakan kelas, Rivan yang berasal dari kelas A bertemu dengan
Gea yang beras dari kelas D sewaktu kelas 1. Awalnya Rivan hanya penasaran
dengan perempuan ini tapi kemudian dia mulai menyukainya memperhatikan tiap
gerakannya dan mempelajari tiap ekspersinya Gea.
Seperti
seorang pengamat Rivan terus bersepekulasi tentang Dirinya dan Gea. Dia banyak
menggunakan hal tertentu untuk menarik minat Gea padanya. Sekedar mendapat
sapaan “selamat pagi” atau “aku duluan” membuat Rivan sekan melambung. Dia
tidak menyangka kehidupan yang dulu dikenalnya sebagai kebosanan yang mutlak
membuatnya berubah menjadi berwarna seperti bunga sakura.
“Hallo
kamu melamun pacarmu? Kalian bertengkar?” wajah perempuan ini terlihat
berempati pada Rivan. Rivan kembali tersenyum memberikan tangannya untuk
mengajak perempuan ini bersalaman. Dia tahu sebelum berbicara panjang lebar dia
harus tahu nama perempuan ini.
“Aku
Rivan” ucap Rivan dengan wajah berseri.
“Aku
Asuka” ucap Asuka menjabat tangan Rivan dengan wajah bingung. Bersalaman dalam
kebudayan jepang merupakan hal jarang dilakukan atau biasanya tidak pernah
dilakukan sama sekali. Mereka biasanya menundukan kepala sebagai tanda
penghormatan atau tanda terima kasih.
“Aku
hanya memiliki sedikit masalah. Kami hanya bertengkar seperti biasanya. Dan
pasti beberapa jam lagi kami akan berbaikan” ucap Rivan menenangkan Asuka.
Asuka
hanya mengangguk dan tidak tahu harus berbicara apa lagi. Dia merasa mendapat
orang salah dalam uji coba yang dilakukannya. Seharusnya Rivan mengatakan
masalahnya seperti yang ada dalam buku yang dibacanya. “ Jangan – jangan buku
ini bohong” ucap Asuka kesal dalam hatinya.
“kamu
mahasiswa Psikolog?” Asuka segera mengangguk sekaligus bingung dengan ucapan
Rivan. Laki – laki yang di depanya seperti seorang turis bisa dengan mudah
menebak jurusan yang di ambilnya membuatnya teringat pada sosok anak kecil
berkacamata yang selalu tampil dalam komik mingguan dan selalu dikejar
germbolan.
“Jangan
bingung, aku tahu tidak banyak masyarakat jepang yang peduli dengan orang lain.
Pada umumnya masyarakat jepang adalah orang yang individualis” Asuka mulai
melotot saat di katakan seperti tadi dia merasa sedang dihina dengan turis
asing ini.
“Jangan salah paham dulu,
bukannya aku menghina masyarakat ini. Tapi kembali lagi pada pelajaran
Sosiologi yang sering di pelajari. Manusia akan membentuk komunikasi, jika
saling membutuhkan” tatapan Asuka berubah menjadi kebingungan. Dia menarik
tangan kanannya ke bibir.
“Kamu ini sebenarnya siapa?”
Asuka melihat Rovan dengan pandangan melotot.
“Hanya orang biasa yang telalu
memperhatikan tingkah laku manusia” ucap Rovan dengan nada males kemudian
berjalan pulang.
No comments:
Post a Comment