blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Friday 7 March 2014

Villa Selatan


                Siang itu sebuah surat dengan label  buruk gagak  bertengker di dalam kotak suratku. Ibuku menggeleng saat memberikannya padaku, kemudian bergurau tentang hubungan aneh yang di miliki anak zaman sekarang.
                Dear, Mr Aderson
                Bersama surat ini saya meminta maaf karena tidak bisa mengundang secara langsung pada pertemuan yang diadakan di villa selatan. Saya mengundang dan mengharapkan kehadiran anda untuk berpartisipasi dalam pesta yang diadakan.  Pertemuan diadakan di Villa Selatan mala mini jam 7 malam
SALAM HANGAT LOUISE
                Aku juga ikut menggeleng seperti ibu, karena surat ini begitu tidak jelas, dia bahkan memanggilku Mr Aderson setidaknya panggil saja aku dengan Ader seperti yang lain. Dan Louise aku bahkan tidak mengenal perempuan ini.
                Dan aku mengerti satu hal dari surat ini, ini adalah surat yang di kirim dengan perekat darah, seberapa mengerikan pengirim surat ini. Bahkan darah kering itu tidak terlihat seperti obat merah pada umumnya. Dengan warna coklat kemerahan masih terlihat sidik jari sang pengirim.
                “Ibu tahu siapa yang mengirim ini” Ibu diam sebentar dia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Seolah jawaban ini sedang menggelinding di kepalanya. Layaknya anak kecil wajahnya berbuah cerah terus berpaling padaku.
                “Seorang perempuan dengan rambut perak dan juga gaun terusan serba hitam. Dia bersiul lagu Fur Elise dari Bethoven” ucap ibu  dengan senyum lebar di bibirnya. Aku tidak begitu mengerti seberapa mengerikan pengetahuan mantan jurnalis ini. Setidaknya aku baru mengetahui lagu Legendaris Bethoven itu dari beberapa minggu lalu saat seorang teman memperkenalkan lagu klasik yang dianggap sebagai pembawa kutukan. Tapi beliau dengan mudahnya menyebut judul lagu itu.
                “Berarti dia dari Taiwan” ucapku mengangguk sedikit membuat ibu, mulai memadangku dengan wajah penasaran dia mulai bersimpuh di depan dengan senyum riangan seolah senyum itu sudah biasa di pamerkannya. Ibuku ini sangat senang jika membahas sesuatu yang sudah di ketahuinya tapi ingin membuat orang lain mengetahuinya. Semacam mental naïf para jurnalis jaman sekarang.
                “Kalau tidak salah di Taiwan nada tersebut di gunakan truk sampah untuk memberitahu dia sudah dekat kan ? tapi apa kamu tahu ada negara lain yang menggunakan nada ini juga dalam kegiatan sosial” ibu menarik alisnya sedikit seolah dia sangat menikmati pembicaran ini.
                “Negara  ? apa maksud ibu dan lagi aku tidak begitu berminat untuk bermain tebak – tebakan dengan ibu. Dia memintaku datang ke Villa Selatan jam 7 jadi hanya tinggal 4 jam hingga pertemuan itu berlangsung” ucapku dengan nada mengeluh ibu mulai cemberut dia nampak tidak ingin memaksakan keinginannya saat ini.
                “ Brazil, turki dan Iran juga menggunakan lagu itu sebagai pemberitahu pada masyarakat. Tapi untuk mengetahui orang itu berasa dari mana cukup konyol hanya dengan modal lagu yang di siulkannya” ibu beranjak pergi setelah berkata dengan nada cukup meyakitkan bagiku, dia menggap semua hal misteri yang kupecahkan seolah hanya keberuntungan dasar jurnalis sialan.
                “Tapi ibu tahu kenapa judul ‘Fur Ellise’ dan itu begitu terkenal hingga sekarang” ucapku membuat antena keingin tahuan ibu berdiri dengan tegaknya.
                “Kamu tahu?” ucap ibu mulai panik, karena merasa di ungguli olehku. Aku menggangguk membuat ibu semakin penasaran, tapi wajah berubah menjadi kesal kemudian seolah jawabanya sudah di temukan.
                “Jangan katakana Bethoven menulis untuk perempuan yang di sukainya karena menikah dengan orang lain” aku tersenyum getir mendengar peryataan ibu barusan. Tak kusangka pengetahuan nyonya ini sangat luas hingga membuatku tidak bisa berkutik.
                “Ya sudah berjuanglah dengan perempuan misterius itu” ucap ibu beranjak pergi. Tunggu dulu, perempuan berarti bukan wanita. Dengan kata lain sipengirim surat adalah orang yang seumuran denganku. Sial, ini membuatku kepalaku pusing. Apalagi ini diadakan di Villa dan aku tidak mengetahui apa – apa mengenai orang ini, topik apa yang kubicarakan nanti dan apa –apaan pertemuan di villa terkenal ini aku bahkan tidak pernah masuk ke sana sejak tinggal di sini.
                Villa selatan adalah Villa yang dimiliki oleh salah seorang pengusaha di daerahku. Dia cukup terkenal dan sukses dengan usaha perkebunan dan pertambangan yang sering di bicarakan orang – orang di sekitar. Hanya berjarak beberapa meter dari rumahku, aku bisa melihat dari kejauhan Villa itu. Memang butuh waktu 20 menit dengan jalan kaki, tapi itu tidak cukup melelahkan karena sepanjang jalan kamu bisa melihat pantai indah dan aroma laut yang menyegarkan.
                Langkahku berhenti di depan Villa bersama dengan itu sebuah gerbang terbuka dengan suara yang cukup unik. Biasanya saat gerbang terbuka akan berbunyi “Reeee” atau “sraaaaak” tapi gerbang ini berbunyi mirip penggalan lagu bethoven, lagi – lagi bethoven seberapa cinta pemilik rumah ini dengan lagu bethoven sih.
                “Selamat datang Mr Aderson, nama saya Olivia saya pelayan di sini” Perempuan ini menyambutku dengan senyum ramahnya, lengkap dengan pakaian maid warna putih dengan celemek putih. Mengingatku pada Pelayan abad ke 18 bagi bangsawaan Belanda.
                “Ahh Iya, apa orang yang mengundangku ada ?” ucapku gugup karena tidak pernah di lakukan sesopan ini selama masa hidupku.
                “Tentu saja tuan” ucapnya tersenyum ramah.
                Olivia mengantarku ke ruang utama yang terlihat begitu luas. Ini hampir sama dengan luas rumahku dengan berbagia macam lemari yang memajang piring di sepanjang dindingnya. Aku paham dengan piring – piring ini yang nampak terlihat begitu tua. Mungkin saja nilainnya ini mencapai ratusan juta perbuahnya.
                “Selamat datang di rumahku” Perempuan yang duduk di atas sofa untuk satu orang ini tersenyum tipis melihatku. Otomatis aku membalas senyumnya dengan penuh hormat.
                “Ngomong – nogmong mana yang lain, bukannya ini pesta” Perempuan ini bangkit dari sofa dan mendatangiku dengan langkah ala bangsawaan. Yah langkah dengan kaki berjalan segaris dengan kepala yang tidak bergerak, butuh latihan bertahun – tahun untuk melakukan hal itu.
                “Namaku Luoise, Pesta yang kumaksud hanya kita berdua” dia mengedipkan sebelah matanya saat berkata seperti tadi, memang tidak ada unsur menjijikan di dalamnya atau berbau negatif tapi malah terlihat natural. Benar – benar bangsawan, aku benar - benar tidak mengerti cara pandang mereka terhadap orang lain.
                “Lalu tujuan anda, apa ? untuk apa saya dibawa kemari?” Louise ternyum sedikit di mempersilahkanku mengikutinya ke salah satu ruangan.
                “Ini” dia memberikan satu lembar foto sebuah piring dengan warna biru.
                “Piring yang bagus, jadi ada apa dengan foto ini” ucapku tidak tertarik dengan foto yang di berikannya.
                “Aku tidak menanyakan mengenai pring ini ! tapi apa kamu bisa tahu piring ini asli atau tidak” Louise memberikan senyum yang tampak misterius.
                “Untuk apa aku melakukan hal semacam ini? Aku tidak begitu tertarik dengan piring semacam ini” aku berucap kesal seolah ingin pergi.
                “Tapi, piring ini di lelang dengan harga $ 1000.000 aku tidak mungkin membelinya jika piring ini ternyata palsu. Aku hanya ingin kamu membuktikan ini asli saja” aku terdiam sebentar kemudian kembali berjalan ke arahnya dan mengambil foto darinya.
                “Palsu, ini keramik yang tidak berumur tua bisa di katakana hanya imitasi dari keramik asli. Kamu bisa melihat warna dari piring keramik ini tidak kekuningan. Biasanya piring keramik yang sudah tua akan berwarna kekuningan tapi terlihat alami. Dan yang paling mengganjal keramik ini tidak melampirkan sertifikat, biasanya seorang pelelang akan memberikan sertifkat pada barang antik ini agar barang ini bisa di jual dengan harga tinggi. Kalau dia mau melelang barang ini dia harus menyertakan itu bersama no regnya. Itu saja” ucapku berkata bosan melihat foto ini.
                Lousie melihatku dengan pandangan takjub seolah melihat makhluk lain. Kemudian beberap saat kemudian tersenyum penuh kemenangan, aku benar – benar tidak mengerti bagaiman bangsawaan bersikap.
                “Memang detektif hebat? Aku jadi tidak begitu susah untuk membeli piring itu” Louise tersenyum santai. Itulah kesan pertamaku bertemu Lousie cantik, elegan, dan misterius. Tapi di balik itu semua aku tidak tahu apa tujuan utamanya bertemu denganku.
               
               
               

1 comment:

  1. Wih cerpen ala western yang bagus bro. Tapi ane sedikit kurang lancar saat baca. Tadi ada kata yang terbalik dan kurang.

    ReplyDelete