Namanya adalah Dinda, senyumnya manis semanis gula.
Parasnya cantik secantik mawar tapi sayang dia berduri. Wajahnya yang biasanya
adalah penuh kedengkian dan tatapanya selalu memberikan permusuhan di manapun
aku melihatnya.
“Kamu
lagi, apa yang kamu lakukan di sini, Kamu menghalangi jalan” orang yang telah
kupikirkan berdiri tepat di hadapanku. Seperti biasa aku diam dan
mempersilahkan dia lewat tanpa menatap matanya lagi. Dia hanya berjalan seperti
biasa melewatiku tanpa memberikan sebuah salam saat berrtemu di pagi hari. Yah
di depan tangga tepat aku sering membaca buku pelajaran sebelum bel masuk
berbunyi.
Begitulah
hari – hariku tak ada yang namanya filosofi suka dan cinta dalam kehidupanku.
Aku hanya dianggap sebagai pemain figuran dalam dunia mereka yang penuh warna,
walaupun terkadang warna itu adalah abu – abu kehitaman.
Esok
harinya aku berdiri di tempat yang sama, sambil membuka buku pelajaran dengan
label fisika, tentu saja semua orang akan berdecak kesal tentang momentum dan
listrik statis tapi tidak bagiku. Mata pelajaran ini adalah, mata pelajaran
yang sangat kusenangi mungkin karena aku sudah terlalu lama dalam kesendirian.
Langkah
kaki Dinda tampak seperti biasa, dia berjalan dengan anggun layak putri dari
kerajaan barat. Rambutnya yang terbang saat ditiup angin merupakan harmoni pada
pagi ini. Dia melangkah menaiki anak tangga bersama buku yang berada di tangan
kanannya.
Aku
menatap dengan tatapan terkejut, biasanya dia akan memberi salam berupa ucapan
kasar dan arogan, tapi kini dia menungguku untuk beranjak dari anak tangga ini
sambil memamerkan senyum ramahnya.
“Kamu
sakit” ucapku dengan nada takut karena dia tersenyum kearahku.
“Apa
maksudmu, aku selalu seperti ini” ucapnya lagi dengan nada ringan kali ini
terdengar sedikit ramah dan juga manja. Apa yang kupukirkan mungkin saja dia sedang
senang saat ini dan aku terlalu khawatir padanya.
“Oh,iya.
Silahkan” ucapku beranjak dari tempat biasa ku berdiri. Tapi Dinda belum
melanjutkan langkahnya dia tetap diam di tempat sambil menyembunyikan wajahnya
yang memerah.
“Hey,
ada apa denganmu” aku bertanya lagi tapi Dinda mengakat wajahnya dengan rona
merah yang sangat jelas terlihat, aku terlalu takut untuk mengukur suhu
tubuhnya dan mengurungkan niatku untuk memegeng dahinya.
“Aku
menyukaimu” itulah kata yang terlontar dari bibir delimannya membuatku hanyut
saat itu juga. Bayangkan saja seorang perempuan yang kau anggap manis
seangkatanmu menyatakan cintanya tepat di pagi hari yang sejuk .
Aku
tersentak terkejut saat orang yang ada di hadapanku menatapku dengan tatapan
intimidasinya. Aku kembali menggeser arah lain, agar perempuan bernama Dinda
ini bisa lewat, ya kurasa dia juga harus lewat dari bayangku barusan.
lumayanlah, tapi banyak juga yg harus dikasi tanda baca seperti koma dll, setidaknya kamu berani unjuk gigi,,salam kenal
ReplyDelete