Title : Last
Genre : School, Humor, Family
Author : Hittori Yudo
Chapter: 07
Hati yang busuk
“Aku akan bermain, kau puas! Dan
jangan menyesal!” kata – kata itu membuatku masih terpaku di depan laptop dan
tidak sengaja mengetiknya, sebagai seorang penulis gangguan kecil mengenai mood
dan keseharian serta strees yang buruk bisa memicu writing block.
Aku yang termasuk orang yang kalau
ada sedikit masalah langsung tidak bisa melanjutkan tulisanku, itu bukanlah hal
yang cukup buruk karena jika suasana hatiku setengah kesal. Aku bisa
menghasilkan naskah yang cukup bagus.
Dalam menulis, pertama kali kau
membuat cerita akan akan kesombongan di dalamnya, setelah kau mengerjakan lebih
dari 100 macam tulisan kau akan sadar bahwa kerja pertamamu adalah hasil
terburuk. Di tahun berikutnya kau akan mengalami fase kehilangan minat menulis
karena bakat hampir terasa tidak ada. tapi di fase berikutnya semangatmu akan
membara seolah menulis adalah nafas.
Entah semua penulis mengalaminya
atau hanya aku saja, tapi fase setelah ini adalah bagian yang terburuk. Kau
tidak dapat memuaskan dirimu dan kebanyakan kau akan jatuh kemudian tidak mau
melihat pena lagi.
Fase terakhir hal yang tidak ingin
aku lihat, setidaknya saat hidup di dunia ini aku suka membaca buku dan tidak
terlalu berharap dengan realita mengerikan ini. Bukan karena tuhan merancak
takdir tapi karena makhluk yang merusak takdir – takdir indah yang
dirancangnya.
Di dalam beberapa metologi, membuat
sesuatu yang bahagia harus merasakan sakit yang sangat amat menyakitkan. Itu juga
bagian dari fisikolog dan sedikit setuhan teori relativitas dari Eistein. Aku
tidak membantah itu semua. Tapi sampai kapan rasa sakit dan penderitaan yang
kau alami bisa dilupakan dengan satu titik kebahagian yang munccul diakhiri.
Pola diri berpuas diri atau
apalah namanya yang harus diterapkan,
ahh semakin aku memikirkan semua yang terjadi dalam beberapa minggu ini. Aku
benar – benar berubah menjadi makhluk teoritis.
“Berteori tanpa bekerja keras adalah
kesombongan dan berkeja keras tanpa teori adalah kebodohan!” aku mengucapkan
itu beberapa kali, biasanya hal ini mampu membuat pikiranku berada di jalur
yang benar.
“Ndi?” suara Kak Rifal membuatku
menoleh padanya yang sekarang sedang berada di samping pintu sambil menggenggam
buku tulis yang penuh coretan.
“Kak! Itu!” ucapku diam membatu,
pasti sekarang kak Nia sedang meronta –ronta untuk tidak melibatku dalam
masalah ini.
“Nia tidak apa – apa, dia sedang
tidur karena seharian menangis. Apa yang terjadi waktu di sekolah tadi?” Kak
Rifal mulai mengintorgasiku, Kak Rifal memang terlihat bodoh tapi dia orang
yang peduli pada orang lain. Bisa dibilang dia punya hati yang baik di dalam
gumpalan otot itu.
“Aku tidak tahu, hanya saja Kak Nia
mencoret semua bukunya!” Kak Rifal menghela nafas kemudian duduk di kasurku
dengan melempar buku yang dicoret tadi ke arah lain.
“Ini tidak bisa dibiarkan, aku akan
membunuh mereka!”
“Jangan lakukan itu! Aku berjanji,
akan membuat semuanya selesai tanpa ada pertikaian!” Kak Rifal tersenyum sinis,
dia terlihat tidak percaya dengan apa yang kurencanakan.
“Kau pikir aku buta! Aku tahu apa
yang terjadi pada kalian! Kalian bilang akan menyelesaikan masalah ini. Tapi
nyatanya kalian menghindar! Apa itu itu disebut menyelesaikan!” suara Kak Rifal
agak berat, kali ini mungkin dia benar – benar marah dan kurasa ini kali kedua
sejak insiden waktu itu.
“Semua tidak berubah walaupun kakak
menacapkan paku pada mereka! Kakak sadar apa arti dari kerja keras!” suaraku
sedikit meninggi membuat kak Rifal tertenggun.
“Penghinaan dalam Pujian! Tidak ada
manusia yang senang mereka tertinggal, jika mereka masih bisa melakukan sesuatu
maka akan mereka lakukan termasuk mengusik keberadaan orang seperti Kak Nia!”
Kak Rifal terlihat kesal dia hanya menggeram menahan emosi yang bergejolak
dalam dirinya.
“Kau tahu Nia selalu berada di
depanku dari kami kecil, dia selalu ceria dan tampak bahagia. Jadi aku berusaha
mengejarnya walaupun dengan semua ini aku belum bisa sejajar. Aku masih ingin
berusaha, kuyakin mereka pasti mengerti dengan perasaan ini!” Kak Rifal
bukanlah orang yang kasar dia hanya sedikit terbawa emosi dan pikirannya
bersih, tidak sepertiku yang selalu waspada dengan kata – kata penghianatan.
“Terlalu Naif, perasaan seperti itu
tidak ada di manusia busuk seperti mereka!” Kak Rifal terlihat kecewa dengan
pendapatku.
“Aku akan melakukan sesuatu, aku
berjanji kak! Jika aku tidak bisa mengubah suasana ini dalam 6 bulan ke depan.
Kakak bisa lakukan apa yang kakak pikirkan!” walaupun sedikit ragu, kak Rifal
terlihat menyetujui ucapanku barusan.
“Apa kau yakin dapat melakukan
sesuatu?” aku hanya tersenyum simpul untuk membuat Kakk Rifal bisa sedikit
lebih tenang.
No comments:
Post a Comment