blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Tuesday 7 January 2014

MUNGKIN KAH?


MUNGKIN KAH?
Aku berjalan dengan langkah kaki seperti biasa, seperti hentakan kuda tapi lebih berisik dengan sepatu kulit bersole yang cukup keras, beberapa siswa yang berdiri di lorong melihatku dengan tatapan penasaran, tentu saja mereka memberi tatapan seperti itu. Bahkan aku sendiri merasa aneh dengan seragam yang berbeda dari sekolah ini dengan celana berwarna hijau dan almamater ungu. Jelas sekali aku berubah menjadi makhluk aneh di sekolah ini.
            Langkah kakiku berhenti di depan ruang kepala sekolah, sekali lagi aku melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ruang di depanku memang ruang kepala sekolah, ada sedikit kebiasaan yang kupunya mengenai hal seperti ini, yah aku terlalu takut untuk melakukan sesuatu yang salah sehingga terkadang sedikit cemas.
            “Ada yang bisa kubantu” seorang siswi berdiri di belakangku dengan tatapan bingung, aku memberikan senyum termanisku yang kumiliki untuk menandakan bahwa aku bukan orang yang mencurigakan, tapi nampaknya senyumanku terlihat aneh di matanya hingga siswi ini memberikan tatapan aneh padaku.
            “Aku siswa baru di sini” ucapku untuk mengakhiri pertikain batin yang kulalui.
            “Oh, kalau cari kepala sekolah dia datangnya jam 7 nanti, jadi tidak mungkin sekarang beliau ada di dalam. Kalau siswa pindahan biasanya langsung ke ruang guru saja” ucapnya memberikan saran, kemudian melangkah pergi.
            Aku sempat tercengang sedikit, terlintas dalam pikiranku mengenai berita yang di siarkan beberap hari yang lalu di stasiun TV swasta. Bahwa pegawai sipil yang terlambat akan di berikan teguran oleh atasannya dan sanksi yang paling buruk adalah pemecatan, tapi jika itu atasan apa sanksi yang paling buruknya? Kuharap kepala sekolah ini sadar akan korupsi waktu yang di lakukannya
            Setelah berkenalan dengan salah satu wali kelas, aku di tuntun dengan ucapannya untuk naik ke lantai 2 dari gedung sebelah barat, kemudian mencari papan bertuliskan kelas 11 ruang 1. Beliau memberikan arahan sambil merokok, padahal dengan jelas di depan pagar yang ku lewati beberapa waktu lalu tertulis di larang merokok, apa yang terjadi dengan sekolah ini sih? Kurasa gurunya sangat senang melakukan Korupsi kekuasaan
            Dengan berat hati, aku melangkah menaiki anak tangga menuju lantai 2 yang di beritahu wali kelas tadi. Di depan ruangan aku melihat kertas berserakan aku memungutnya dan ingin membuangnya ke dalam bak sampah yang bertuliskan organik dan non organik dua tong sampah ini berdekatan tapi, di dalam isinya sama tidak ada perbedaan seperti yang tertulis di tong sampah tersebut, jadi aku memasukannya ke dalam kotak yang bertuliskan an Organik walaupun di situ terdapat kulit pisang. Kali ini Korupsi peraturan ya.
            Saat aku memasuki kelas, seorang siswi dengan kacamata intelektualnya menghampiriku, dia memperkenalkan sebagai ketua kelas, lalu mempersilahkan aku duduk di salah satu bangku kosong yang ada di pojok kelas.
            Seorang yang duduk di bangku depanku memperkenalkan dirinya dengan memberikan senyum sok akrab khas anak SMA, aku hanya memberikan senyum aneh yang tadi kuberikan pada siswi yang kutemui di depan ruang kepala sekolah. Di hanya membalas dengan cengirannya kemudian kembali pada kegiatan yang sedang di kerjakan.
            Setelah duduk selama 30 menit hingga bangku itu berdecit karena bosan atau karena aku sendiri yang telah menggoyakannya dengan kakiku karena mati bosan, kuputuskan untuk berdiri dan mendatangi meja sang ketua kelas yang sedang asik dengan ceritanya.
            “Apa hari ini gurunya tidak masuk” ucapku ragu karena merasa telah mengganggu obrolannya dengan teman satu bangkunya. Mungkin mereka membicarakan masalah sepele seperti kebanyakan perempuan lainnya.
            “Oh, tadi sepertinya ada, tapi gak apa –apa juga tidak masuk” ucap ketua kelas ini santai dengan nada ringangnya. Aku terdiam sebentar mencerna kata – katanya, maklum kata – kata ini sangat tabu untuk kudengar karena aku di pindahkan dari kota yang harus terus bersaing.
            “Tapi kan, kita bisa tertinggal dari kelas lain, gak coba di panggil gitu gurunya” ucapku dengan panik, ketua kelas ini hanya tersenyum sedikit. Aku jadi sedikit mengerti apa yang tertanam di benakku saat melihat senyumnya, dan akhirnya aku berjalan keluar kelas.
            Yah, sekolah ini memang cukup Asri dengan banyak pepohonan. Beberapa siswa yang sedang asik dengan nyanyian yang membuatku tidak mengerti apa yang mereka nyanyikan. Aku memang cukup mengenal lagu yang di janji kan tapi suara sumbang mereka seakan membuatku tahu lagu ini berada dalam versi lain.
            Langkah kakiku terhenti di depan perpustakan. Dalam sejarah dari sekolah manapun orang yang di katakan bolos tidak pernah ada di perpustakan bahkan jika itu di berikan perbandingan hampi 1 banding 100. Orang yang bolos di dalam perpustakan.
            “Murid baru ya” aku mengangguk mendengar penjaga perpustakaan ini menegurku dengan melihat bajuku yang berlawan dari pelajar yang ada di sini.
            “Bagaimana menurutmu sekolah ini” ucap penjaga perpustakan ini dengan nada ringan. Aku berpikir sedikit mengenai pertanyaan yang di lontarkan penjaga perpustakan ini.
            “Sekolah ini akan bubar dalam waktu 10 tahun” ucapku dengan jujur.
            “Kha...Kha...Kha” tawa penjaga perpustakan ini keluar. Aku menatapnya bingung, dia hanya memegang perutnya dengan tawa yang tak kunjung selesai.
            “Kau menarik juga, biasanya murid baru akan bilang sekolah ini sangat bagus” ucapnya kemudian.
            “Maksud anda” ucapku bertambah bingung.
            “Manusia itu lemah, jelek, dan membemci hal yang tidak di milikinya anehnya itu adalah bakat kasar dari manusia. Dengan kata lain manusia hanya mengingatkan hal yang tidak di miliki, berperilaku santai tapi ingin di pandang bekerja keras. Mereka hanya menginkan hal yang mudah tanpa melalui jalan yang sulit karena itu adalah manusia” ucap penjaga perpustakan ini dengan nada yang cukup membuatku merenung kejadian ini dari awal.
            “Jadi ini salah manusia dari awal, atau salah tuhan karena menciptakan manusia seperti itu” ucapku menjawab perkataan penjaga Perpustakan tadi. Beliau hanya tersenyum sedikit kemudian mulai membuka mulutnya.
            “Ini bukan salah manusia atau Tuhan-“
            “Jadi salah Iblis ya, aku turut berduka padanya menjadi kambing hitam di setiap perilaku buruk manusia” ucapku memotongnya.
            “Kamu siswa yang menarik, tapi apakah pernah berpikir apa penyebab semua ini terjadi. Ku anggap kamu paham apa yang terjadi di sekolah ini, tapi kamu paham apa yang menyebabkan ini terjadi” ucapnya menguji apa yang ada dalam pikiranku.
            “Pimpinanya kan, itu pertanyaan mudah. Bahkan di setiap paparan tentang keburukan suatu instasi akan di pertangung jawabkan oleh pemerintah” ucapku sangat yakin dengan jawabanku, bukannya sok menggurui penjaga perpustakan ini tapi hal itulah yang sering terjadi beberapa minggu ini.
            “Secara teori benar tapi ada yang lebih benar lagi” aku menatap orang yang ada di depanku dengan terkejut setidaknya beberapa waktu lalu aku sangat yakin dengan jawabanku.
            “Kebiasaan itulah yang menyebabkan semua ini terjadi, dengan tidak adanya efek samping yang cepat dari kebiasaan yang terjadi akan menganggap pelanggaran itu seperti kebiasaan yang tidak apa – apa jika di lakukan” ucapnya dengan nada yakin, aku hanya bisa menatapnya sambil berpikir ulang apa yang beliau katakan.
            “Lebih mudahnya, seperti orang merokok jika itu di lakukan secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya kerusakan organ dalam”
            “Jadi maksud anda semua yang terjadi di sekolah ini karena korupsi yang sudah di ajarkan dari kebiasaan” ucapku ragu.
            “100, untukmu. Jadi kamu sudah paham sampai kepahaman korupsi. Apa kamu paham cara memperbaikinya” ucap penjaga perpustakan ini dengan nada menyelidik, aku sangat yakin beliau sendiri tidak tahu cara melakukannya.
            “Anda sendiri tidak tahu cara melakukanya” ucapku protes karena merasa di tes dengan soal yang tidak mungkin ada jawabnya.
            “Oh jadi sekarang kamu tidak mau menjawab sanksi” ucapnya dengan nada mengejek.
            “Itu tidak efektif bahkan, negara ini sudah menurunkan ribuan sanksi untuk para pelanggaran tapi nyatanya angka kejahatan tidak pernah menurun. Apa aku harus menjawab orasi, kurasa anda akan tertawa jika aku menjawab itu” ucapku kesal.
            “Benar sekali bukan sanksi yang bisa membuat orang itu berhenti melakukannya, tapi hati yang lembut” aku hampir tertawa mendengar ucapan beliau.
            “Hati yang lembut, tidak ada yang memiliki hal itu di jaman sekarang. Kalaupun lembut kurasa bisa di jadikan sebagai alasan untuk kampanye” ucapku tidak percaya dengan pernyataannya
            “Coba kamu pikirkan jika orang itu memiliki hati yang lembut maka tanggung jawabnya tidak akan pernah di tinggalkanya. Hati yang lembut berarti rasa takut akan salah” ucap beliau, aku hanya merenung sedikit kemudian beranjak keluar dari perpustakan.
            “Kamu tidak jadi masuk” ucapnya kemudian.
            Bagaiman aku bisa masuk jika argumennya yang di ucapkannya membuatku kembali pada diriku semula, walaupun sebenarnya aku mau korupsi waktu. Hati yang lembut kah? Kurasa semua orang bisa memilikinya.















           


1 comment: