blog Novel a hittori yudo, Bagian yang terus tumbuh adalah cerita, dan sastra adalah cara untuk menceritakannya

Tuesday 24 February 2015

Wanita senja

               Wanita itu masih saja duduk dengan wajah yang datar, sambil tetap memegangi setangkai bunga mawar putih, dia duduk di sebelah selatan taman. Di tempat bangku – bangku kosong yang menghadap danau, setiap kali aku lewat dia tidak pernah sedikitpun menggerakan bola matanya untuk melihatku atau orang – orang yang berlalu lalang, diam seolah dia matanya yang coklat itu tidak bisa melihat. Diam seolah telinganya tidak bisa mendengar cemohan orang – orang yang lalu lalang dihadapnya. Kadang aku berpikir dia gila, karena setiap hari duduk di situ, tapi kadang aku masih menganggapnya waras karena baju yang dia pakai selalu berganti tiap harinya.

                Dan hari ini rasa penasaranku sudah berada di ujung tanduk, aku tidak bisa menahan keingintahuanku. Dengan tidak sadar aku sekarang sudah berada di dekatnya, tepat di hadapan wanita yang selalu memegang bunga mawar putih. Dia tidak bergeming sama sekali seolah ada tembok yang membatasi kami saat ini, aku tidak tahu apa dia pura – pura tidak sadar aku ada di depannya.

                Lidahku terasa kelu, hanya untuk bertanya sedang apa di sini, ada sedikit ketakutan saat aku berhadapan langsung dengannya. Ketakutan kesepian yang ada di pundaknya bisa beralih kepadaku seperti penyakit menular yang akan tertular jika aku berbicara dengannya. Ada apa denganku saat ini, ini pertama kalinya aku merasa tegang.

                “Kamu tahu, aku di panggil wanita pembawa kematian oleh orang – oang yang lewat. Setiap kali mereka lewat dan melihatku, mata mereka menolak untuk menatapku secara langsung.” Perempuan ini berhenti bicara sementara membuatku semakin bertambah bingung, suaranya yang datar tak ada ekspersi apapun dalam nada suara itu seolah seperti mesin usang yang berbunyi.

                “Lalu apa itu tujuanmu duduk sendirian di sini?” dia masih diam sejenak saat mendengar kata – kataku, betapa bodohnya aku. Kata – kata itu seharusnya tidak keluar dari mulutku ini. Tapi tiba – tiba wanita ini tersenyum terpaksa, ya itu bukan senyum yang biasanya menggambarkan keramahan. Aku bisa melihat ketidak ikhlasan dari senyum itu.

                “Aku merindukan seseorang yang pergi jauh!” ucapnya lirih, kali ini air matanya mulai menggenang, seolah pertanya yang kuberikan membuatnya menangis saat ini. Ada apa dengan perempuan ini.

                “Siapa yang kau rindukan?” ucapku membuatnya berhenti dari tatapan datarnya dan untuk pertama kalinya dia menatap mataku. Mata yang penuh kesedihan, padahal wajahnya lumayan cantik dan kulitnya putih. Tapi kenapa mata itu menggambarkan penderitaan.

                “Tuhan, aku ingin bertemu denganya!” aku tersentak, wajahnya berubah menjadi tegas, apa wanita ini berniat untuk mati, tapi jika ingin mati kenappa tidak dari kemarin saja dia bunuh diri tanpa harus membuat rumor aneh di kota ini.

                “Hanya mati yang membuat kita bertemu.” Ucapku membuat wajah wanita ii menjadi kecewa, ada kilatan kesedihan yang tampak dari matanya.

                “Tuhan tidak mengijinkan aku mati, dia menyuruhku menunggu kematian itu.” Kali ini dia mulai berdiri berjalan melewatiku dengan langkah perlahan, aku tidak tahu ada apa denganya. Aku lupa memberitah saat fajar datang dia akan berjalan pulang dengan langkah yang perlahan seolah tiap langkah itu membahayakannya.

                “Sebelum tuhan menjemputmu-” suaraku tercekat ada keraguan saat mengatakan hal ini, tapi wanita ini kembali penasaran dia melihatku dengan tatapan kebingungan.

                “Sebelum tuhan menjemputku?” ulangnya dengan nada bertanya, membuatku semakin gugup untuk menyambung kata – kata bodoh yang terpikir itu.

                “Gimana kalau kamu menunggu bersamaku, menikmati dunia ciptanya dari sudut pandang yang berbeda dari sekarang.” Aku menutup mata agar wajah wanita itu tidak membuat kegugupanku semakin menjadi.

                “Maksudmu?” wanita ini kini berbalik sepenuhnya tapi masih memegang erat bunga mawar berwarna putih. Apa yang merasukikku sampai bersedia membawanya pergi dari kota ini, apakah cantiknya? Kurasa tidak mungkin karena aku sudah membuangnya di pemakaman keluargaku. Mata coklatnya? Kurasa juga bukan hal konyol macam apa yang membuatku mengajakanya dengan hanya melihat mata coklatnya. Kurasa pemikirannya, aku mungkin tertarik dengan apa yang dia ucapkan.

                “Aku akan membawamu ke tempat di mana aku melihat ciptaan tuhan.” Matanya menerawangku, seolah mencari celah kebohongan yang ada. Tapi, mata itu kembali diam, kurasa dia tidak menemukan sesuatu yang dinginkannya.

                “Kamu membawakan kemana?” ucapnya mulai sedikit tertarik, aku terdiam sebentar ada banyak tempat yang menarik, tapi kurasa aku harus berpikir puluhan ribu kali, agar tempat itu menarik baginya.

                “Mesir, tempat nabiku musa berbicara dengan allah tuhanku.” Wanita ini terdiam, apa karena dia baru tahu aku seornag muslim.

                “Kamu, jangan - jangan muslim?” ucapnya dengan wajah kegirangan, ini pertama kalinya aku melihat sinar kebahagian di wajahnya. Apa dia benar – benar senang mendengar tentang agamaku.

                “Iya, aku muslim...” ucapku agak gugup karena dia benar – benar berbeda dengan apa yang aku lihat barusan, wajahnya penuh semangat. Seolah keterpurukan tadi hanya ilusi mataku saja.

                “Aku mau! Aku mau mengenal tuhanmu! Agar aku mendapat jawaban atas semua yang ingin kutanyakan.” ucapnya dengan suara mantap, ada sedikit binar kebahagaian yang terpacar. Apa sebegini besar agamaku berpengaruh padanya.

                “Tuhan tidak akan menjawab pertanyaanmu!” gadis menahan nafas saat aku mengatakannya, dia kemudian mengulurkan tangannya.

                “Kalau begitu aku percuma bertemu tuhanmu!” aku sedikit tersenyum saat wajahnya mulai bereaksi marah.

                “Tuhan sudah menjawabnya dalam alquran!” dia terdiam, wajahnya menjadi sembam dan matanya mulai berkaca – kaca.

                “Tuhan tidak pernah menjawab untuk apa aku hidup ? apa yang ku cari ? dan kemana aku setelah mati? Itu tidak tertulis di sana!”  Aah, seorang yang kehilangan arah apa akan selalu seperti ini tidak ingat siapa dirinya.

                “Tidak kuciptkan Jin dan manusia kecuali mereka beribadah kepadaku, al quaran suarah adz-Dzariyat ayat 66! Bukan kah sudah jelas tertulis disana wanita senja” wajahnya mengeras dan gadis itu mulai menangis aku tidak tahu dia sedang menangis tentang apa, yang kulihat hanya air mata penyesalan selama hidupnya.





1 comment: