Wanita itu masih saja
duduk dengan wajah yang datar, sambil tetap memegangi setangkai bunga mawar
putih, dia duduk di sebelah selatan taman. Di tempat bangku – bangku kosong
yang menghadap danau, setiap kali aku lewat dia tidak pernah sedikitpun
menggerakan bola matanya untuk melihatku atau orang – orang yang berlalu
lalang, diam seolah dia matanya yang coklat itu tidak bisa melihat. Diam seolah telinganya
tidak bisa mendengar cemohan orang – orang yang lalu lalang dihadapnya. Kadang
aku berpikir dia gila, karena setiap hari duduk di situ, tapi kadang aku masih
menganggapnya waras karena baju yang dia pakai selalu berganti tiap harinya.
Dan
hari ini rasa penasaranku sudah berada di ujung tanduk, aku tidak bisa menahan
keingintahuanku. Dengan tidak sadar aku sekarang sudah berada di dekatnya,
tepat di hadapan wanita yang selalu memegang bunga mawar putih. Dia tidak
bergeming sama sekali seolah ada tembok yang membatasi kami saat ini, aku tidak
tahu apa dia pura – pura tidak sadar aku ada di depannya.
Lidahku
terasa kelu, hanya untuk bertanya sedang apa di sini, ada sedikit ketakutan
saat aku berhadapan langsung dengannya. Ketakutan kesepian yang ada di
pundaknya bisa beralih kepadaku seperti penyakit menular yang akan tertular
jika aku berbicara dengannya. Ada apa denganku saat ini, ini pertama kalinya
aku merasa tegang.
“Kamu
tahu, aku di panggil wanita pembawa kematian oleh orang – oang yang lewat.
Setiap kali mereka lewat dan melihatku, mata mereka menolak untuk menatapku
secara langsung.” Perempuan ini berhenti bicara sementara membuatku semakin
bertambah bingung, suaranya yang datar tak ada ekspersi apapun dalam nada suara
itu seolah seperti mesin usang yang berbunyi.
“Lalu
apa itu tujuanmu duduk sendirian di sini?” dia masih diam sejenak saat
mendengar kata – kataku, betapa bodohnya aku. Kata – kata itu seharusnya tidak
keluar dari mulutku ini. Tapi tiba – tiba wanita ini tersenyum terpaksa, ya itu
bukan senyum yang biasanya menggambarkan keramahan. Aku bisa melihat ketidak
ikhlasan dari senyum itu.
“Aku
merindukan seseorang yang pergi jauh!” ucapnya lirih, kali ini air matanya
mulai menggenang, seolah pertanya yang kuberikan membuatnya menangis saat ini.
Ada apa dengan perempuan ini.
“Siapa
yang kau rindukan?” ucapku membuatnya berhenti dari tatapan datarnya dan untuk
pertama kalinya dia menatap mataku. Mata yang penuh kesedihan, padahal wajahnya
lumayan cantik dan kulitnya putih. Tapi kenapa mata itu menggambarkan
penderitaan.
“Tuhan,
aku ingin bertemu denganya!” aku tersentak, wajahnya berubah menjadi tegas, apa
wanita ini berniat untuk mati, tapi jika ingin mati kenappa tidak dari kemarin
saja dia bunuh diri tanpa harus membuat rumor aneh di kota ini.
“Hanya
mati yang membuat kita bertemu.” Ucapku membuat wajah wanita ii menjadi kecewa,
ada kilatan kesedihan yang tampak dari matanya.
“Tuhan
tidak mengijinkan aku mati, dia menyuruhku menunggu kematian itu.” Kali ini dia
mulai berdiri berjalan melewatiku dengan langkah perlahan, aku tidak tahu ada
apa denganya. Aku lupa memberitah saat fajar datang dia akan berjalan pulang
dengan langkah yang perlahan seolah tiap langkah itu membahayakannya.
“Sebelum
tuhan menjemputmu-” suaraku tercekat ada keraguan saat mengatakan hal ini, tapi
wanita ini kembali penasaran dia melihatku dengan tatapan kebingungan.
“Sebelum
tuhan menjemputku?” ulangnya dengan nada bertanya, membuatku semakin gugup
untuk menyambung kata – kata bodoh yang terpikir itu.
“Gimana
kalau kamu menunggu bersamaku, menikmati dunia ciptanya dari sudut pandang yang
berbeda dari sekarang.” Aku menutup mata agar wajah wanita itu tidak membuat
kegugupanku semakin menjadi.
“Maksudmu?”
wanita ini kini berbalik sepenuhnya tapi masih memegang erat bunga mawar
berwarna putih. Apa yang merasukikku sampai bersedia membawanya pergi dari kota
ini, apakah cantiknya? Kurasa tidak mungkin karena aku sudah membuangnya di
pemakaman keluargaku. Mata coklatnya? Kurasa juga bukan hal konyol macam apa
yang membuatku mengajakanya dengan hanya melihat mata coklatnya. Kurasa
pemikirannya, aku mungkin tertarik dengan apa yang dia ucapkan.
“Aku
akan membawamu ke tempat di mana aku melihat ciptaan tuhan.” Matanya
menerawangku, seolah mencari celah kebohongan yang ada. Tapi, mata itu kembali
diam, kurasa dia tidak menemukan sesuatu yang dinginkannya.
“Kamu
membawakan kemana?” ucapnya mulai sedikit tertarik, aku terdiam sebentar ada
banyak tempat yang menarik, tapi kurasa aku harus berpikir puluhan ribu kali,
agar tempat itu menarik baginya.
“Mesir,
tempat nabiku musa berbicara dengan allah tuhanku.” Wanita ini terdiam, apa
karena dia baru tahu aku seornag muslim.
“Kamu, jangan - jangan muslim?”
ucapnya dengan wajah kegirangan, ini pertama kalinya aku melihat sinar
kebahagian di wajahnya. Apa dia benar – benar senang mendengar tentang agamaku.
“Iya,
aku muslim...” ucapku agak gugup karena dia benar – benar berbeda dengan apa
yang aku lihat barusan, wajahnya penuh semangat. Seolah keterpurukan tadi hanya
ilusi mataku saja.
“Aku
mau! Aku mau mengenal tuhanmu! Agar aku mendapat jawaban atas semua yang ingin
kutanyakan.” ucapnya dengan suara mantap, ada sedikit binar kebahagaian yang terpacar. Apa
sebegini besar agamaku berpengaruh padanya.
“Tuhan tidak akan menjawab
pertanyaanmu!” gadis menahan nafas saat aku mengatakannya, dia kemudian
mengulurkan tangannya.
“Kalau begitu aku percuma
bertemu tuhanmu!” aku sedikit tersenyum saat wajahnya mulai bereaksi marah.
“Tuhan sudah menjawabnya dalam
alquran!” dia terdiam, wajahnya menjadi sembam dan matanya mulai berkaca –
kaca.
“Tuhan tidak pernah menjawab
untuk apa aku hidup ? apa yang ku cari ? dan kemana aku setelah mati? Itu tidak
tertulis di sana!” Aah, seorang yang
kehilangan arah apa akan selalu seperti ini tidak ingat siapa dirinya.
“Tidak kuciptkan Jin dan manusia
kecuali mereka beribadah kepadaku, al quaran suarah adz-Dzariyat ayat 66! Bukan
kah sudah jelas tertulis disana wanita senja” wajahnya mengeras dan gadis itu
mulai menangis aku tidak tahu dia sedang menangis tentang apa, yang kulihat
hanya air mata penyesalan selama hidupnya.
no bad
ReplyDelete